01 Agustus 2016

Tips dan Cara Menulis Cerpen

Sebetulnya, saya termasuk orang yang tidak percaya pada petunjuk-petunjuk praktis tentang menulis cerita pendek (cerpen). Jika kita berselancar di mesin pencari google, akan kita temukan puluhan bahkan ratusan artikel tentang cara menulis cerpen. Tapi karena beberapa pembaca blog ini bertanya bagaimana cara menulis cerpen, maka saya coba berbagi pengalaman.


Cerpen adalah salah satu genre karya sastra yang sangat populer. Zaman sekarang, hampir seluruh surat kabar di seluruh Indonesia selalu memuat cerpen, dan umumnya terbit pada edisi Minggu. Sebagaimana namanya, cerpen adalah kisah pendek yang biasanya terdiri dari 1000-10.000 karakter. Ia habis sekali dibaca.

Saya pertama kali menulis cerpen ketika duduk di bangku SMA. Dan tentu saja cerpen-cerpen yang saya tulis ketika SMA kebanyakan bertema remaja. Cinta monyet. Pertentangan anak dengan orangtua. Kebingunan atas jati diri. Permulaan kepekaan soisal. Juga Godaan-goadaan duniawi yang merasuk pikiran. Cerpen-cerpen masa remaja saya dulu dimuat di rubrik Sinar Remaja, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), terbitan Medan. Tapi sayangnya, seluruh cerpen itu tak satupun tersisa. Saya termasuk ceroboh soal arsip.

Suatu kali ketika berjalan kaki ke sekolah, saya melihat seorang anak muda seusia SMP berjualan goreng di gerbang salah satu sekolah. Wajah kawan itu hitam legam. Tubuhnya kurus. Suaranya terdengar serak ketika ia menjajakan dagangannya. Entah kenapa, pikiran saya terus terganggu memikirkan anak itu. Mungkin karena saya lahir dari keluarga petani miskin, saya bersimpati padanya. Tapi saya masih dikirim ke bangku sekolah dengan berbagai cara, tapi kawan itu tak bersekolah, langsung turun menghadapi kenyataan hidup. Setelah beberapa hari pikiran saya terganggu, akhirnya suatu malam saya menulis sesuatu tentang kawan itu.

Tak ada niat menulis cerpen. Hanya ingin menulis. Waktu itu, kata 'mungkin' banyak membantu saya. Saya berpikir, mungkin orangtuanya sudah tiada. Mungkin masih ada, tapi tak sanggup membiayainya sekolah. Atau mungkin bapa dan ibunya masih hidup, tapi sudah bercerai. Sangat banyak imajinasi 'mungkin' berseliweran dalam kepala saya. Lalu akhirnya saya putuskan, bapa dan ibunya bercerai. Mulailah saya mengarang cerita. Tapi bagaimana memulainya?

Saya ceritakan dulu kehidupan sehari-hari kawan itu. Ia bangun jam 5 pagi. Membantu ibunya mempersiapkan gorengan. Ketika hari mulai terang, ia berangkat membawa dagangan itu dalam bakul. Lalu di gerbang sekolah itu, ia menggelar dagangan di atas terpal berwarna biru yang sudah dipersiapkan. Kenapa ibunya tidak ikut berjualan? Ibunya pergi mencari uang tambahan ke rumah-rumah orang kaya sebagai tukang cuci. Sebenarnya, anak itu sudah tamat dari SD. Tapi tak bisa melanjut ke SMP karena tiba-tiba bapa dan ibunya bercerai. Bapanya tukang judi, dan tiap hari mabuk-mabukan. Ibunya tak tahan, lalu mengambil keputusan pahit itu. Sebenarnya anak itu pintar, tapi nasib menghambat cita-citanya. Agar cerita memiliki nilai dan bisa jadi teladan, saya tulis bahwa ia berjualan pagi selama dua tahun. Setelah uangnya tertabung, ia kembali sekolah. Dan ia mengganti jadwal jualan jadi sore hari.

Suatu kali yang lain, saya menyaksikan seorang ibu pedagang buah keliling naik sepeda mini dari gang ke gang. Usianya saya taksir sudah 50-an tahun. Dalam hati saya hitung-hitung, seandainya buah-buah dalam kotak kaca di sadel belakang sepeda itu terjual seluruhnya, mungkin ia hanya mampu mengumpulkan uang Rp5000-Rp10.000. Sebab waktu itu, harga sepotong buah masih Rp50. Berapa modalnya? Berapa untungnya? Apakah itu sebanding dengan rasa lelah yang ia rasakan mengayuh sepeda dari gang ke gang? Sebab rasa capek yang dialaminya tentu dua kali lipat karena terik. Sebab ia tak mungkin berjualan ketika hujan atau mendung. Lalu suaminya kemana? Apakah dia punya anak? Apakah penghasilannya cukup untuk kehidupan sehari-hari?

Saya ingat, waktu itu saya tulis bahwa ibu itu punya 5 anak. Dan ternyata anak-anaknya sudah besar-besar. Dua sudah sarjana dan hidupnya sudah mapan secara ekonomi. Dua lagi masih kuliah dan si bungsu masih SMA. Suaminya teryata seorang pegawai honorer di salah satu kantor pemerintahan, tapi gaji tak seberapa sehingga ia sebagai istri harus ikut menopang ekonomi keluarga. Dan sesungguhnya, kedua anaknya yang sudah bekerja itu sudah mampu dan lebih dari cukup untuk membiayainya. Tapi kenapa ia masih berkeliling menjajakan buah-buah itu?

Akhirnya, saya mulai menulis cerita itu dengan perkataan anaknya, "Bu, berhentilah berdagang. Ibu makin tua. Kalau sakit bagaimana? Kami sudah bisa membiayai keluarga kita, termasuk membiayai adik-adik." Si ibu menjawab, "Urus hidupmu, masadepan kau masih jauh. Lagipula, aku justru sehat karena jualan ini."

Dua contoh di atas adalah kisah yang saya tulis masa-masa awal menulis cerpen. Tentu masih banyak kisah-kisah lain. Dan ada juga kisah 'murahan'. Seorang anak SMA jatuh cinta kepada gadis di kelasnya. Tapi ditolak. Ia sangat frustasi. Meski begitu, ia tidak menyerah. Ia tetap melakukan hal-hal baik kepada gadis itu. Hingga suatu kali, gadis sekelasnya itu menghinanya dengan tajam. "Kau lelaki miskin, sadar dong!". Ia terpukul. Ketika pulang sekolah, ia merasa linglung memikirkan kepedihannya, sampai-sampai tidak lagi memperhatikan kanan-kiri saat menyeberang jalan. Dan ia tertabrak. Saat siuman di rumah sakit, ia lihat gadis sekelasnya itu menemaninya. Ia sangat bahagia.

Setelah kuliah, suatu hari saya bertemu dengan seorang gadis bisu di opelet. Saya tahu ia bisu karena memakai bahasa isyarat ketika bicara dengan wanita di sampingnya, mungkin ibunya. Lalu saya terpikir menulis sebuah cerita tentang gadis bisu. Lalu bagaimana memulainya? Untungnya, gadis bisu di opelet itu lumayan cantik. Maka majinasi saya langsung bekerja. Ada seorang lelaki jatuh cinta kepada gadis bisu. Tapi di mana setting atau latarnya? Apakah di dalam opelet? Ketika asyik memikirkan latar, tiba-tiba saya tulis judulnya: PEREMPUAN DI DEPAN RUMAH.

Ringkasan kisahnya begini: ada sebuah keluarga baru pindah ke perumahan tempatku tinggal. Rumahku, atau lebih tepatnya rumah kosku, persis berhadap-hadapan dengan rumah tetangga baru itu, hanya dipisahkan jalan sempit sebagaimana lazimnya di perumahan sangat sederhana. Maka mulailah fragmen demi fragmen. Tetangga baru itu ternyata punya seorang putri cantik. Aku sering menyaksikan gadis itu menyapu halaman pada pagi hari. Menyiram bunga-bunga. Dan pada sore hari, ia sering duduk-duduk di teras rumah sambil membaca surat kabar. Lama-lama, aku jatuh cinta pada gadis itu, dan suatu hari memberanikan diri menyapanya. Gadis itu hanya diam. Tak menyahut.

Aku makin penasaran, makin sering mengamati tindak-tanduk gadis itu. Bahkan, aktivitas orantuanya pun saya amati. Ketika suatu hari orangtuanya pergi, dan ia duduk-duduk di teras rumahnya, aku mendatangi gadis itu. Tapi ia malah lari ke dalam rumah seperti seseorang yang sedang ketakutan. Waktu terus bergulir. Perasaan makin intens. Tapi aku tak kunjung bisa bicara dengan gadis itu. Hingga suatu hari, aku mendapat pesan dalam secarik kertas, diserahkan seorang anak kecil. "Bang, dikasih kakak depan rumah," ujar anak kecil itu ketika menyerahkan secarik kertas itu. Kubaca dengan dada begetar: Maaf, aku tak bisa bicara. Aku bisu. Maka itu aku selalu mengelak disapamu."

Seperti itulah ringkasan kisahnya, sejauh yang mampu saya ingat, cerpen itu terbit di Harian Riau Mandiri, dan saya tidak memiliki arsipnya. Sangat banyak cerpen-cerpen saya yang hilang dan saya tak peduli. Demikianlah garis besar proses kreatif saya jalani ketika menulis sebuah cerpen. Ada peristiwanya. Berasal dari penghayatan sehari-hari, lalu saya oleh jadi cerita. Untuk melengkapi atau membuatnya menarik, barulah saya mainkan imajinasi.

Jadi, jika Anda membaca sebuah artikel tentang teknik menulis cerpen, Anda akan diminta menyiapkan ide cerita, membuat judul cerita, menulis paragraf pembuka, membuat alur atau plot, membuat paragraf penutup, mengoreksi ejaan, lalu mengedit tulisan dan membaca ulang cerpen tersebut.

Singkatnya, jika Anda ingin menulis cerpen, maka Anda harus menyiapkan unsur-unsur cerpen yaitu alur, latar, penokohan, sudut pandang dan gaya bahasa. Artikel lain mungkin akan menulis langkah-langkah berikut: 

- Memilih topik/tema (percintaan, sosial, pendidikan, lingkungan, sejarah, dll).
- Menentukan tokoh-tokoh (tokoh jahat, tokoh baik, pengasih, pintar, cerdas, religius).
- Menganalisis watak tokoh (tindakan sesuai watak, perilaku sesuai watak).
- Menulis garis besar cerita (semacam ringkasan atau arah untuk dikembangkan).
- Menentukan alur (bisa alur maju, alur mundur, atau maju-mundur, bisa juga alur melingkar).
- Menentukan latar cerita (tempat dan waktu cerita).
- Memilih gaya penceritaan atau sudut pandang (si pencerita bisa 'aku', 'dia', atau langsung pakai nama).
- Memilih diksi yang sesuai (pemilihan jenis kata yang tepat).
- Mengembangkan kerangka karangan (dalam contoh di atas, saya pakai kata 'mungkin' untuk pengembangan cerita).

Tapi bagi saya, langkah-langkah atau teknik yang sangat praktis seperti diajarkan artikel-artikel itu adakalanya tidak berhasil digunakan. Bagi pencerita berbakat alam, tips-tips itu tak banyak berguna, meski tetap diperlukan sebagai khasanah pengetahuan. Demikianlah tips dan teknik menulis cerpen sesuai pengamalaman pribadi yang saya rangkai dengan tips-tips praktis. Tapi bagaimanapun, menulis adalah sebuah panggilan. Semoga bermanfaat. ***

Contoh Cerpen: Telepon Dini Hari
Bagikan:

2 komentar:

  1. Bermanfaat sekali gan, saya jadi semangat untuk bisa menulis cerpen. ^_^

    BalasHapus
  2. sangat bermanfaat sekali kak. terimakasih informasinya. jangan lupa yuk mampir
    walisongo.ac.id

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!