Oleh Panda MT Siallagan
Penikmat lagu-lagu Simalungun mungkin tidak asing dengan lagu berjudul Serma Dengan-dengan dan Sitalasari. Dua lagu ini memiliki karakter berbeda. Serma Dengan-dengan bertonasi riang, sehingga kerap digunakan sebagai pengiring tortor Simalungun. Sementara Sitalasari mendayu penuh kelembutan. Mendengarnya, kita diayun menuju penghayatan yang nikmat. Tapi, tahukah generasi baru siapa komponis penggubah lagu legendaris itu? Dialah Taralamsyah Saragih Garingging.
Taralamsyah Saragih. |
Ketika revolusi berdarah itu meletus, Taralamsyah Saragih berusia 28 tahun, masa dimana ia memasuki fase produktif dan sedang dalam memiliki gairah yang tinggi menjalani aktivitas kesenian di Kota Pematangsiantar. Dan karena ia anak raja, nyawanya terancam, sebab revolusi itu memang gerakan revolusioner melawan dan menghabisi sultan dan raja-raja. Taralamsyah berhasil lolos karena mengungsi ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan seterusnya berlayar ke Aceh.
Saya bergetar membayangkan kemelut jiwanya di tanah rantau sebagai pengungsi, bergetar membayangkan ia bersama beberapa sanak saudara mengarungi Samudera Hindia yang ganas dalam pelayaran dari Padang menuju Aceh. Sementara di tanah kelahiran, sanak saudara yang lain tewas dibantai pasukan revolusi, termasuk salah seorang abangnya. Pedih memang. Dan sunyi.
Revolusi atau perang, memang selalu berakhir dengan tragedinya yang kompleks. Ia tidak hanya merenggut nyawa, tapi lebih dari itu: kejayaan suatu tamadun (puak), akan turut hancur dan runtuh. Ikon-ikon kebudayaan ikut lenyap, warisan-warisan peradaban bernilai tinggi turut raib, dan zaman kemudian menyisakan generasi traumatis yang menghindar dari nilai-nilai budaya kebangsawanan, termasuk tautan historis di dalamnya, yang dipaksa terbelenggu dalam lupa.
Pada masa itu jualah sastrawan ternama Indonesia, Amir Hamzah, menemui ajalnya di tangan ‘rakyat revolusioner’ itu. Hanya saja, Amir Hamzah sudah terlebih dahulu memahat prasasti lewat karya-karya, sehingga kenangan atasnya lebih bersinar. Tapi tokoh-tokoh seniman di Simalungun seolah tak ada yang tersisa. Tak terperikan memang rasa sakit membayangkan tragedi itu, sehingga banyak orang tak ingin membahasnya lagi. Masa lalu biarlah jadi masalalu. Tapi bagi saya, peristiwa itu selalu memberi banyak ruang untuk merenung, menimbang-nimbang, bahkan terkadang berpikir seperti provokator: sebaiknya para pejabat dan pamong masa kini bercermin dari peristiwa revoluisi itu agar bisa bersebati dengan rakyat, agar tidak ada kelompok-kelompok yang merasa termarjinalkan.
Setelah situasi politik di Sumatera Timur kembali normal, Taralamsyah kembali ke Medan. Di Aceh, dia sempat meninggalkan jejak sebagai seniman sejati. Di tanah Kutaraja itu, dia memberikan pelatihan musik kepada tentara. Dan kegiatan berkesenian itu terus berlangsung setelah ia berada di Medan. Demikianlah, ia mengabdikan jiwa-raga dan seluruh kehidupannya untuk kesenian, terutama mencipta tortor (tarian), lagu-lagu Simalungun, sebagian lagu Karo dan tari-tarian Melayu. Setiap orang tentu tahu Tari Serampang Dua Belas yang diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, dan konon, Taralamsyah Saragih bersahabat karib dengan Sauti, pencipta Tari Serampang 12 itu.
Kita tidak tahu ‘dendam apa’ yang menyebabkan Taralamsyah pergi dan berlalu meninggalkan Simalungun. Apakah ia meninggalkan tanah kelahiran karena alasan ekonomi? Saya kurang percaya tentang itu, sebab di Medan, ia terbilang populer dan rutin mentas, juga menjadi salah satu dosen di Universitas Sumatera Utara (USU). Ketika orang-orang Simalungun asyik menikmati tari-tarian dan lagu-lagu gubahannya, tiada yang tahu bahwa sesungguhnya ia telah hijrah ke Jambi, dan dan di tanah Melayu itulah dia wafat dan dimakamkan.
Kadang-kadang, saya gerun membayangkan, betapa tercerai-berainya kita. Raja Siantar Sangnaualuh diasingkan ke Tanah Melayu, Bengkalis, Riau, dan juga menjadi pahlawan yang dihormati di negeri itu. Tentang ini, saya kadang-kadang rindu melihat Raja Sangnaualuh dari kacamata rakyat Bengkalis, yang sayangnya, hingga saat ini tak saya dapatkan referensinya. Tapi berdasarkan bincang-bincang beberapa tahun silam, budayawan Riau Hasan Junus berkata, Raja Sangnaualuh sangat terhormat di mata rakyat Bengkalis, bahkan sebagian mengganggapnya orang Melayu.
Kita tidak tahu, seberapa banyak sesungguhnya tokoh-tokoh bangsawan dan terpelajar Simalungun berdiaspora ke berbagai negeri, baik akibat situasi politik maupun karena kenginannya, seperti Taralamsyah yang memilih mengakhiri segalanya di Jambi. Baiklah, saya ringkaskan biografinya.
Taralamsyah Saragih lahir di Pematang Raya, 18 Agustus 1918, dari keluarga keturunan Raja Simalungun. Sejak kecil, ia telah menunjukkan bakat seni, terutama di bidang musik dan tari. Ia menyelesaikan pendidikan formal di Holandse Inlandse School (HIS). Sebagai komponis, karya-karyanya beranjak dari tradisi etnik Simalungun dan Melayu.
Taralamsyah Saragih sempat tinggal di USI (Universitas Simalungun), pada masa itulah Taralamsyah Saragih merampungkan bukunya berisi Sejarah Kerajaan Raya dan Silsilah Raja Raya serta penyebaran keturunan Raja Raya. Nama ayahnya tercantum sebagai generasi ke-15, yang berarti Taralamsyah generasi ke-16. Naskahnya tersebut diterbitkan di percetakan Tapian Raya dengan biaya sendiri dengan judul Saragih Garingging.
Dan akhir kata, kita patut berterimakasih kepada Simon Saragih, yang dengan cerdas dan tangkas merangkum kisah Taralamsyah dalam buku berjudul Jejak Sepi Seorang Komponis Legendaris, Penerbit Bina Media Perintis (2014). Pemahaman saya tentang Taralamsyah mendapatkan banyak terang setelah membaca buku tersebut. ***
0 komentar:
Posting Komentar