06 Agustus 2016

Romantisme Parsobanan, Tradisi dan Kenangan Indah


Ada sebuah tembang Batak berjudul Parsobanan. Sejak saya kanak-kanak hingga kini mulai tua, lagu ini masih kerap dinyanyikan di lapo-lapo tuak, bahkan naik kelas ke kafe-kafe, dan sesekali mendayu jua di acara pesta atau hajatan-hajatan seremonial. Demikian penggalan liriknya: 


Ai diingot hodope ito na di parsobanan i
ima naso tarlupahon au tikki roma rimbus i
laos hubukka ma da bajukki asa adong saong-saongmu


Terjemahan bebasnya kira-kira begini: ingatkah kau, adik, suatu masa di parsobanan dulu. Tak akan pernah kulupa, saat gerimis jatuh, kubuka bajuku agar ada tudungmu.

Betapa romantisnya lagu itu. Ada tiga peristiwa indah dalam sepenggal lirik itu: parsobanan, gerimis, dan perlindungan. Saya sengaja tidak menerjemahkan parsobanan, sebab sulit menerjemahkan kata itu ke dalam bahasa Indonesia? Sulit mencari padanannya yang pas. Tapi secara harafiah, parsobanan bisa diartikan sebagai tempat mencari kayu bakar.

Soban dalam bahasa Batak berarti kayu bakar. Parsobanan, dengan demikian, merupakan kata imbuhan dengan awalan par dan akhiran an, merujuk pada makna tempat, yaitu tempat mencari kayu bakar. Sedangkan kata kerjanya adalah marsoban (mencari kayu kabar). Pada zamannya, istilah parsobanan ini memang sangat populer. Dan ia bukan sekedar tempat mencari kayu bakar, tapi juga menjadi semacam tradisi. Ada interaksi sosial yang kuat di situ.

Lingkup parsobanan juga sangat luas. Ketika ada pembukaan lahan, maka kayu-kayu yang ditebang itu bisa jadi soban. Ketika kayu-kayu itu mulai kering, orang-orang desa akan datang ke tempat itu. Mereka memotong ranting-ranting kayu dengan parang dengan ukuran tertentu, dikumpulkan, lalu diikat dan dibawa ke rumah.

Biasanya, di pekarangan rumah, kayu-kayu itu akan dijemur lagi agar benar-benar kering dan bisa menyala. Biasanya hal ini dikerjakan kaum perempuan, baik ibu-ibu maupun gadis-gadis. Sedangkan batang kayu berukuran besar, dipotong dengan kapak, lalu digotong ke desa. Kayu ini nantinya dibelah-belah lagi dengan kapak menjadi ukuran-ukuran kecil, sehingga bisa digunakan menyalakan api di tungku. Ini biasanya dikerjakan kaum pria.

Tapi sering, hutan di pinggiran desa adalah parsobanan paling lazim. Warga desa lazim pergi ke hutan mencari kayu bakar, dan tak jarang dilakukan bersama-sama. Tentu, kayu yang dicari adalah kayu tumbang yang sudah mengering.

Dan adakalanya, sebuah pohon sengaja ditebang, kemudian dibiarkan berberapa lama. Si penebang akan kembali ke tempat itu untuk mengambil ranting-ranting atau batangnya. Ini semata-mata untuk memudahkan pengangkutan. Sebab kayu basah tentu berat untuk dipundak.

Jika direnungkan, alangkah arifnya tradisi marsoban itu. Nyata terasa hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Saling mengisi dan melengkapi. Tapi setelah kompor mulai masuk desa, minyak tanah kemudian merampas kearifan lokal itu. Hutan tidak lagi dikunjungi, bahkan mulai dijual seiring datangnya kapitalis-kapitalis dari kota. Maka kelak, pada masa yang tak jauh, tradisi marsoban dan romantisme parsobanan akan terlupa selama-lamanya. Generasi baru sudah 'hijrah' pada budaya kota dan modernisme.

Romantisme parsobanan, saya kira cocok jadi istilah untuk menggambarkan interaksi sosial yang menyertainya. Seringkali kaum ibu pergi mencari kayu bakar secara ramai-ramai, atau setidaknya berdua. Selama memotong dan mengumpuli ranting-ranting kayu, mereka biasanya berbincang, saling bercerita, dan tentu saja sesekali dibumbui gosip. Begitupun kaum pria, ketika pergi ke parsobanan, adakalanya bersama-sama dengan tetangga.

Maka tak jarang, kayu besar berukuran panjang, digotong berdua. Seorang di depan meletakkan kayu itu di bahunya, seorang lagi di belakang, juga melakukan hal yang sama. Seperti membawa tandu. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, demikian pepatah itu berlaku alami dalam kehidupan mereka.

Tentang kaum muda, memang adakalanya pergi ke parsobanan pada hari libur, misalnya hari Minggu atau libur hari raya besar, sebab hari biasa mereka sekolah menuntut ilmu. Lazim pula mereka pergi bersama-sama, misalnya kakak-adik, atau bersama teman-teman sebaya. Di sanalah terjadi interaksi sosial yang hangat karena mereka mencari kayu bakar sambil bersenda gurau. Betapa indahnya suasana itu.

Namun, tradisi marsoban sesekali dkhianati juga. Adakalanya sepasang muda-mudi sengaja pergi marsoban, tapi sesungguhnya tujuan utama bukan mencari kayu bakar, melainkan pacaran. Mereka inilah mungkin tokoh dalam lagu yang dipopulerkan Joel Simorangkir dkk itu. Dan sialnya, gerimis datang, dan si pria nakal itu membuka bajunya untuk melindungi kekasihnya dari terpaan hujan.

Saya yakin, waktu itu belum ada warga desa mengenakan baju berbahan kulit, sehingga baju kawan itu sesungguhnya tidak bisa melindungi perempuan itu terpaan hujan. Lebay juga kawan itu. Kalau ingin tahu lebih jelas, silahkan tanya pencipta lagunya. Hehe...

Demikianlah, semoga catatan jelek ini bisa bermanfaat, sekedar mengenang tradisi-tradisi lama yang indah. Dan alangkah lebih baik jika ada di antara kita menuliskan hal yang sama, sebab ingatan dan kenangan semua orang pastilah tidak sama. (Panda MT Siallagan)***

Baca Lirik Lagu Parsobanan dan Artinya DI SINI

Bagikan:

2 komentar:

  1. Saya juga masih ingat, ketika pindah ke kota Siantar, tahun 1971.
    Kami yang tinggal di Jalan Lapangan Bola Atas, biasanya "marsoban" ke kebun rambung di Marihat, dulu di sekitar markas Yonif 122 belum kebun kelapa sawit.
    Dari 'kampung' kami, pergi beramai-ramai, ibu-ibu, anak muda dan anak-anak.
    Terkadang anak-anak yang sedang asyik bermain pun, meninggalkan permainannya untuk ikut "marsoban" ketika rombongan melintas, dan memberitahu tujuan mereka untuk pergi ke "parsobanan".
    Terimakasih untuk menulis tentang "parsobanan"...
    Mengingatkan saya, yang pernah merasa sedih dan kesepian karena ditinggal orang satu lorong, yang beramai-ramai pergi ke "parsobanan", he he he...

    BalasHapus
  2. Terimakasih Redaksi BatakToday, pada akhirnya, hal-hal menakjubkan di masa silam itu akan punah. Dan kita, akan 'terkutuk' sebagai Si Penebang. Hehe...

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!