Tiba-tiba, saya ingin bicara, oh bukan bicara, tapi menulis, tentang figuran. Tepatnya tokoh figuran. Tapi saya tidak tahu kenapa saya tiba-tiba ingin menulis figuran. Saya hanya bisa menduga: mungkin karena akhir-akhir ini saya melihat makin banyak tokoh utama yang lupa cara menghargai.
Dan memang demikian realitasnya. Tokoh utama selalu merasa superior. Saking superiornya, kadang-kadang ia lupa bahwa drama yang dimainkannya adalah gubahan mahluk lain, yang juga belum tentu cerdas. Sesungguhnya, tanpa kemampuan menghargai, kecerdasan tokoh utama adalah kebohongan terbesar dalam sejarah. Dan sejauh ini, saya masih percaya: kebohongan adalah rongrongan paling ampuh di muka bumi yang terberkati ini.
Sebetulnya, saya agak bingung memaknai figuran ini. Kita tahu, figuran merupakan bentukan dari kata 'figur', yang artinya: bentuk, wujud, atau tokoh. Jadi, 'figur' itu sangat agung, mulia dan harum. Maka ketika terdengar oleh telinga kita 'figur publik', khalayan segera diantarkan pada sosok gemerlap nan hebat lagi disegani. Tapi, kenapa ketika berubah jadi 'figuran', yang hanya ditambahkan akhiran -an, maknanya runtuh menjadi 'tokoh yang tak berarti'. Bahasa pun ternyata bisa sedemikian tragis.
Entahlah. Hidup ini mungkin memang benar cuma drama. Atau sandiwara. Tapi setidaknya, saya mencoba memahami bahwa 'figur sentral', 'tokoh utama', sesungguhnya tak lebih agung dari figuran. Bagi saya, itu hanyalah rekayasa samar dari hasrat-hasrat jahat. Sebab tak ada tokoh utama jika tokoh figuran tak muncul. Demikian sebaliknya.
Misalkanlah film itu berjudul SURAT KABAR. Dan mari kita jawab, mana lebih penting antara pemimpin umum, pemimpin redaksi, redaktur, layouter, loper atau pembaca? Kalau peran salah satunya ditiadakan, saya yakin film bernama SURAT KABAR itu tak akan pernah rampung apalagi tayang.
Dan sungguh, saya tidak tahu kenapa saya membuat ibarat seperti itu. Padahal, sesungguhnya saya sedang kecewa pada layanan sebuah bengkel mobil. Kebetulan mobil tua dan butut milik saya hasil kredit itu sedang batuk-batuk, tapi tak bisa diperbaiki karena ahli dinamo tak lagi bekerja.
"Itulah, Tuan," kata rekan kerjanya pada saya, "Bos kami ini terlalu sepele sama dia karena kerusakan dinamo memang jarang-jarang terjadi. Dia kadang tak digaji, mana tahan. Dia resign dari bengkel ini."
Saya agak terhibur mendengar dia menyebut kata 'resign'. Betapa hebatnya kata itu merasuki hidup para pekerja. Singkat kisah, dari pergaulan sesama pekerja di bengkel itu, mereka akhirnya berhasil memanggil orang yang kompeten. Jadi, bukan cuma wartawan yang harus kompeten. Montir juga harus kompeten. Apalagi pemimpin. Hehe...
Pengalaman itu membuat saya membolak-balik pemahaman. Di zaman modern ini, atau di era digital ini, jangan-jangan pemain figuran itulah sesungguhnya tokoh utama. Jabatan mungkin cuma soal takdir. Petinggi-petinggi instansi atau perusahaan, dalam praktek sehari-hari, justru terkadang adalah figuran-figuran lucu yang kapan saja bisa runtuh dan berkeping-keping. Tentu saja jika ia terus menerus memupuk karakter pongah, degil dan tak belajar menghargai figuran.
Sebagai contoh, di tengah merajalelanya jurnalisme digital, media-media online bisa hancur seketika hanya dengan satu titik atau satu garis. Jika seorang webmaster gelap mata, satu titik cukup menghabiskan segalanya. Saya ngeri membayangkannya. Sungguh, saya tidak tahu kenapa saya tiba-tiba menuliskan ini. Tapi saya melihat, keruntuhan rezim seringkali tidak muncul karena kelalaian prajurit, tapi oleh sikap megah dan arogansi akut dari seorang pemimpin. Atau, mungkin saja buku Strategi Samudera Putih itu membuat saya agak panik, sebab kenyataan terasa makin jauh. Seolah tak ada jalan memahaminya.
Danai Chanchaochai, begitu nama pengusaha dan penulis itu. Nama yang aneh dan unik bagi telinga lokal. Sama anehnya dengan perasaan saya, kenapa begitu banyak tokoh utama kian alpa memaknai teamwork?
Dari semua keanehan yang saya rasakan tentang coretan ini, saya tetap yakin: strategi apapun hanyalah mimpi-mimpi kosong jika kita masih selalu menganggap orang lain sebagai figuran. Demikianlah....!
Dan memang demikian realitasnya. Tokoh utama selalu merasa superior. Saking superiornya, kadang-kadang ia lupa bahwa drama yang dimainkannya adalah gubahan mahluk lain, yang juga belum tentu cerdas. Sesungguhnya, tanpa kemampuan menghargai, kecerdasan tokoh utama adalah kebohongan terbesar dalam sejarah. Dan sejauh ini, saya masih percaya: kebohongan adalah rongrongan paling ampuh di muka bumi yang terberkati ini.
Sebetulnya, saya agak bingung memaknai figuran ini. Kita tahu, figuran merupakan bentukan dari kata 'figur', yang artinya: bentuk, wujud, atau tokoh. Jadi, 'figur' itu sangat agung, mulia dan harum. Maka ketika terdengar oleh telinga kita 'figur publik', khalayan segera diantarkan pada sosok gemerlap nan hebat lagi disegani. Tapi, kenapa ketika berubah jadi 'figuran', yang hanya ditambahkan akhiran -an, maknanya runtuh menjadi 'tokoh yang tak berarti'. Bahasa pun ternyata bisa sedemikian tragis.
Entahlah. Hidup ini mungkin memang benar cuma drama. Atau sandiwara. Tapi setidaknya, saya mencoba memahami bahwa 'figur sentral', 'tokoh utama', sesungguhnya tak lebih agung dari figuran. Bagi saya, itu hanyalah rekayasa samar dari hasrat-hasrat jahat. Sebab tak ada tokoh utama jika tokoh figuran tak muncul. Demikian sebaliknya.
Misalkanlah film itu berjudul SURAT KABAR. Dan mari kita jawab, mana lebih penting antara pemimpin umum, pemimpin redaksi, redaktur, layouter, loper atau pembaca? Kalau peran salah satunya ditiadakan, saya yakin film bernama SURAT KABAR itu tak akan pernah rampung apalagi tayang.
Dan sungguh, saya tidak tahu kenapa saya membuat ibarat seperti itu. Padahal, sesungguhnya saya sedang kecewa pada layanan sebuah bengkel mobil. Kebetulan mobil tua dan butut milik saya hasil kredit itu sedang batuk-batuk, tapi tak bisa diperbaiki karena ahli dinamo tak lagi bekerja.
"Itulah, Tuan," kata rekan kerjanya pada saya, "Bos kami ini terlalu sepele sama dia karena kerusakan dinamo memang jarang-jarang terjadi. Dia kadang tak digaji, mana tahan. Dia resign dari bengkel ini."
Saya agak terhibur mendengar dia menyebut kata 'resign'. Betapa hebatnya kata itu merasuki hidup para pekerja. Singkat kisah, dari pergaulan sesama pekerja di bengkel itu, mereka akhirnya berhasil memanggil orang yang kompeten. Jadi, bukan cuma wartawan yang harus kompeten. Montir juga harus kompeten. Apalagi pemimpin. Hehe...
Pengalaman itu membuat saya membolak-balik pemahaman. Di zaman modern ini, atau di era digital ini, jangan-jangan pemain figuran itulah sesungguhnya tokoh utama. Jabatan mungkin cuma soal takdir. Petinggi-petinggi instansi atau perusahaan, dalam praktek sehari-hari, justru terkadang adalah figuran-figuran lucu yang kapan saja bisa runtuh dan berkeping-keping. Tentu saja jika ia terus menerus memupuk karakter pongah, degil dan tak belajar menghargai figuran.
Sebagai contoh, di tengah merajalelanya jurnalisme digital, media-media online bisa hancur seketika hanya dengan satu titik atau satu garis. Jika seorang webmaster gelap mata, satu titik cukup menghabiskan segalanya. Saya ngeri membayangkannya. Sungguh, saya tidak tahu kenapa saya tiba-tiba menuliskan ini. Tapi saya melihat, keruntuhan rezim seringkali tidak muncul karena kelalaian prajurit, tapi oleh sikap megah dan arogansi akut dari seorang pemimpin. Atau, mungkin saja buku Strategi Samudera Putih itu membuat saya agak panik, sebab kenyataan terasa makin jauh. Seolah tak ada jalan memahaminya.
Danai Chanchaochai, begitu nama pengusaha dan penulis itu. Nama yang aneh dan unik bagi telinga lokal. Sama anehnya dengan perasaan saya, kenapa begitu banyak tokoh utama kian alpa memaknai teamwork?
Dari semua keanehan yang saya rasakan tentang coretan ini, saya tetap yakin: strategi apapun hanyalah mimpi-mimpi kosong jika kita masih selalu menganggap orang lain sebagai figuran. Demikianlah....!
"Jika seorang webmaster gelap mata, satu titik cukup menghabiskan segalanya."
BalasHapusmudah2 an hal ini jgn terjadi sama ku bang, bisa dipecat nanti. hahaha