22 Agustus 2016

Menyedihkan, Unik dan Memalukan

Perkenalan saya dengan teks boleh dibilang menyedihkan, unik bahkan memalukan. Saya ingat mulai bisa membaca ketika duduk di bangku kelas II SD, tapi untuk sekian lama saya tidak bisa mempergunakan keahlian itu untuk membaca buku, sebab memang sulit menjumpai buku ketika itu.


Hingga kini, setiap ingatan itu melintas, saya selalu didera perasaan melankolis, percampuran antara kemarahan dan rasa sakit. Sebab kebanggaan sebagai anak yang baru bisa membaca, runtuh oleh kenyataan pahit sebuah dusun terisolir. Jangankan buku, anak-anak bahkan tidak mengenal listrik, apalagi televisi.

Ketika belanja atau memasarkan hasil tani ke ibukota kecamatan, warga harus melansir barang-barangnya dengan sepeda ontel, bertarung melintasi jalanan licin berlumpur. Seringkali, urusan belanja atau menjual hasil tani ke kota, berlangsung berhari-hari. Jika cuaca bagus, bisa satu hari. Saya ingat, ketika ibu ke kota, kami harus menunggu hingga tengah malam dengan perasaan was-was, sepi, dan terkadang takut. Sebab ayah biasanya pergi menjemput ke sebuah simpang (semacam terminal terakhir) yang bisa dijangkau angkutan. Dari simpang itulah warga berjalan kaki sejauh 5 kilometer memikul barang-barang belanjaan menuju dusun.

Di tengah situasi pedih itulah saya tumbuh dan mulai bercita-cita, tentu saja berawal dari kemampuan membaca. Meski buku adalah barang 'angker', saya tidak lantas kehilangan arah. Tetap saja teks hadir dan menari-nari dalam kepala saya melalui sampah, plastik-plastik, barang-barang bekas, atau  potongan-potongan suratkabar. Seandainya direkam, mungkin saya akan tampak seperti orang gila ketika memungut bungkus jajanan, kaleng roti, botol-botol minuman, atau benda-benda lain.

Lalu saya bacalah teks-teks di situ: roti marie, assorted biscuit, ingredients: ...sugar, milk, butter, salt..dll. Di lain waktu, jajanan anak-anak yang sangat kami kenal, saya ingat teks orong-orong 41 empatpuluh satu. Di kemasan lain, saya temukan tulisan Komposisi: tepung, garam, gula, mentega, dll. Saat itu saya belum memahami arti semua itu. Saya hanya merasa riang dan bangga bisa membaca tulisan-tulisan itu.

Saya tidak ingat berapa lama hal menyedihkan itu berlangsung. Tapi selanjutnya, saya menjadi akrab dengan banyak kata atau kalimat, misalnya tepung tapioka, garam beryodium, khong guan, 100% halal, ajinomoto, viva (bedak ibu), bodrex, entrostop, semoga lekas sembuh, roundup, paracol, theodan, jauhkan dari jangkauan anak-anak, pupuk urea, KCL, pupuk bersubsidi, anti pecah, deluxe (merek gelas), safety matches (pada kotak korek api), swallow, manufactured by, jangan pakai gancu, netto 50 kg, dan masih banyak dan akan sangat panjang jika dideretkan. Semuanya melekat pada benda-benda, sampah, kemasan, atau barang-barang bekas.

Satu-satunya buku berisi teks yang saya kenal adalah bibel, tapi saya tidak bisa sembarangan menyentuhnya karena selalu disimpan di tempat aman, biasanya di atas bufet. Ketika suatu kali saya berhasil membuka kitab itu, saya kebingungan dan tak mampu memahami bahasanya. Bibel itu menggunakan bahasa Batak lama, sangat berbeda dengan bahasa Batak yang kami kenal sehari-hari. Dan barangkali, akibat doktrin sakralitas bibel, saya tidak berani mencurinya meskipun untuk tujuan dibaca.

Di sisi lain, seperti halnya anak-anak lain, saya hanya membawa pensil dan buku tulis ke sekolah. Dan memiliki buku tulis yang agak tebal merupakan suatu kebanggaan ketika itu, sebab anak-anak biasanya hanya punya buku tulis atau buku halus-kasar 12 lembar. Dalam hal ini, saya sedikit beruntung sebab saya kerap memiliki buku tulis 30 atau 50 lembar.

Proses belajar mengajar di kelas berlangsung seperti ini: guru mencatat di papan tulis, murid memindahkan ke buku masing-masing. Setelah selesai, acara dilanjutkan dengan baca bersama. Polanya tetap sama: guru membaca terlebih dahulu di depan, murid mengikuti. Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa kalimat-kalimat itu sangat lucu dan menyedihkan: ini budi, ini wati, ini ibu, ini ayah...!

Untunglah, pelajaran menghitung bisa membebaskan suasana memalukan menjadi agak serius. Tapi celakanya, saya tidak menyukai pelajaran 'mari berhitung', sejak dari awal pengenalannya hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Singkat kisah, tahun-tahun awal SD sama sekali tak menjanjikan ketersediaan teks.

Maka, pada masa-masa selanjutnya, saya merasa sangat gembira jika ibu pergi ke kota untuk belanja karena saya bisa menemukan bacaan baru. Sebab biasanya, beberapa belanjaan ibu dibungkus dengan kertas koran.  Saya akan baca kertas-kertas koran itu, meskipun saya tidak memahaminya. Membaca teks berbahasa Indonesia adalah sebuah 'pergumulan' hebat sebab kami tak mengenal bahasa itu.

Hingga suatu kali, ketika duduk di bangku kelas 3, saya tiba-tiba terpesona membaca sebuah syair yang tak utuh pada kertas koran bungkusan belacan. Itu tentang seorang ibu yang meninggal, yang entah bagaimana tiba-tiba sangat meresap ke hati saya. Setelah dewasa, saya yakin puisi itu adalah puisi remaja atau puisi anak-anak, sebab perbendarahaan kata ketika itu masih terbatas, tapi nyatanya saya dapat memahaminya dan merasa tersentuh.

Sejak itu, saya makin suka mencari-cari teks dan mulai gemar mencoret-coret kata di permukaan tanah dengan ranting kayu atau sapu lidi. Kenapa di atas tanah? Sebab mencoret atau menulis di buku adalah 'haram'. Buku tulis mahal dan memang dijatah sedemikian rupa. Ada satu kata kesukaan saya dan sering saya coretkan di permukaan tanah, yaitu: namanamauan. Sampai kini, dan mungkin selama-lamanya, saya tak akan berhasil mencari makna kata itu.

Barulah setelah duduk di bangku kelas 4, buku-buku mulai terhidang di meja kami. Sebuah babak baru dimulai, cahaya baru yang mencerahkan hati. Buku-buku itu adalah buku pelajaran yang ternyata disimpan di kantor guru. Sebelum proses belajar-mengajar dimulai, guru mengambil buku-buku itu dari kantor, dibagikan masing-masing satu buah untuk satu meja. Setelah jam pelajaran usai, buku itu dikumpul dan kembali disimpan di kantor guru.

Sejak itu, saya mulai berdosa dan berubah jadi penjahat. Benar-benar penjahat. Saya bergairah membayangkan buku-buku itu mengonggok di kantor guru. Saya mulai berpikir dan mencari-cari cara untuk mencurinya. Dan tak perlu waktu lama, saya menemukan caranya. Saya ambil tang milik ayah. Saya bawa kursi kecil yang terbuat dari kayu. Saya pergi ke sekolah itu pada petang menjelang malam.

Persis di bawah jendela kantor guru, saya letakkan kursi. Saya naik dan mulai mencungkil bilah logam penjepit kaca nako jendela di kedua sisi. Setelah agak longgar, saya tarik perlahan-lahan kaca itu, saya letakkan di tanah. Saya ulangi hal yang sama hingga 3 atau 4 kaca berhasil saya lepas. Lalu saya masuk ke ruangan itu. Sungguh pengalaman mendebarkan dan menakutkan. Saya begetar hebat menyaksikan buku bertumpuk-tumpuk di lemari yang terbuka. Bukan hanya buku pelajaran, tapi juga buku-buku cerita. Dengan kondisi tubuh berkeringat dingin, saya pasrah terjerumus ke dalam dosa. Saya ambil beberapa buku, lalu keluar dengan lutut gemetar. Saya pasang lagi kaca itu perlahan-lahan. Selesai.

Hingga masuk ke universitas, penyakit mencuri buku itu tidak bisa saya obati. Dan Tuhan maha tahu, saya tak punya keberanian mencuri barang apapun. Tapi untuk mencuri buku, saya adalah si cerdik berdarah dingin.

Demikianlah perjumpaan saya dengan teks. Sebuah perjumpaan yang tragis dan memalukan. Singkat kisah, bacaan-bacan itu perlahan-lahan 'memerintahkan' saya menulis. Dan selanjutnya adalah kesedihan demi kesedihan, sebab cita-cita saya menjadi sastrawan ternyata gagal juga. Dan untuk alasan itulah saya mengisahkan ini sebagai bentuk terimakasih kepada orang-orang sederhana yang menganggap saya penulis. Catatan ini adalah jawaban saya atas pertanyaan mereka: bagaimana sejarahnya kau bisa menulis? (Panda MT Siallagan)***

Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar